Rabu, 13 Juli 2011

Si Topi Merah


Cuma ada perasaan bosan menunggu datangnya bus di halte, sore itu. Pandanganku kosong seolah terbuai dalam lamunan yang sangaaaattt panjang. Akupun mulai membayangkan banyak hal dalam benakku. Dari bagaimana aku bisa mendapatkan uang saku tambahan untuk mengisi pundi-pundiku yang mulai kelaparan, sampai impian punya mobil pribadi seperti yang baru saja melintas di hadapanku. 


"Ha-ha, pikiran yang aneh", tawaku dalam hati.

Lima belas menit telah berlalu tapi belum satupun bus jurusan ke arah rumah yang melintas. Aku mulai gelisah, saat tiba-tiba terdengar suara berat seorang pria. 


"Mbak, tali sepatunya lepas", sambil menunjuk ke sepatu kiriku. 


Dengan segera aku melihat ke bawah dan benar adanya bahwa tali sepatu kiriku lepas. 


"Langsung dibenerin ya, mbak, nanti kesrimpet  jadi celaka", lanjutnya lalu tersenyum.

Pria itu masih muda, mungkin hanya dua atau tiga tahun di atasku. Penampilannya juga sederhana. Hanya memakai kaos oblong yang menutup tubuh kurusnya, jeans  biru dengan sepatu sekali-masuk; dan yang paling berkesan adalah topi merah di kepalanya. Aku tidak mengenalnya, tapi tak dapat kuingkari jika ada perasaan hangat ketika dia tersenyum. Senyuman itu begitu manis dan tulus, bukan tipe senyuman yang berniat menggoda atau mengganggu. Terlebih lagi, karena susunan gigi yang rapi menambah manis senyumannya.

Setelah selesai membetulkan tali sepatu yang lepas, bus jurusanku akhirnya datang. Aku sedikit berlari agar tak tertinggal. Sayangnya, pria itu tak searah denganku. Sedikit kecewa karena tidak sempat berkenalan dengannya. Dengan pria yang telah menyentuh hatiku dengan senyuman manisnya. Dia, Si Topi Merah. :)


"Tak kan pernah kulupakan hari ini", kataku dalam hati, karena entah kapan aku akan bertemu dengannya lagi.

Senin, 25 April 2011

PENGHARAPAN

Tak 'ku tahu 'kan hari esok,
Namun langkahku tegap.
Bukan surya kuharapkan, karena surya 'kan lenyap.
Oh, tiada 'ku gelisah akan masa menjelang,
'ku berjalan serta Yesus maka hatiku tenang.


Tak 'ku tahu 'kan hari esok,
Mungkin langit 'kan gelap.
Tapi DIA yang berkasihan, melindungiku tetap.
Meski susah perjalanan, gelombang dunia menderu,
DipimpinNYA kubertahan sampai akhir langkahku.

Makin teranglah perjalanan, makin tinggi aku naik.
Dan bebanku makin ringan, makin nampaklah yang baik.
Disanalah terang abadi, tiada tangis dan keluh.
Di negeri seberang pelangi, kita kelak 'kan bertemu.


Banyak hal tak kupahami dalam masa menjelang.
Tapi terang bagiku kini : Tangan TUHAN yang pegang.



Jumat, 22 April 2011

Mendaki

Aku hampir melihat dan mencapainya..
Ya, segenap cita  yang selama ini kuimpikan.
Tetapi ada suara dalam diriku berkata,
"Kau takkan pernah dapat meraihnya!"

Setiap langkah yang kuambil,
Setiap tindakan yang kubuat,
Terasa salah tiada tujuan.
Perjuangan yang kuhadapi,
Tiap perubahan yang kulakukan,
Terkadang membuatku putus asa.
Mungkin tak kuketahui jalan di depan,
Dan imankupun mulai goyah.
Tetapi inilah masa,
Dimana akan kuingat selamanya.

Aku tak boleh hancur!
Aku hanya harus terus maju dan tetap kuat.

Inilah yang kutahu,
Akan selalu ada gunung yang lebih tinggi menanti.
Akan selalu ada peperangan yang lebih berat,
Yang terkadang aku harus terlebih dulu kalah.
Bukan tentang seberapa cepat aku mampu melaluinya,
Bukan tentang apa yang menungguku di balik bukit terjal,
Tetapi tentang seberapa banyak aku belajar.
Tentang bagaimana aku memandang dari atas.
Dan tentang bagaimana mempertahankan keyakinan.
Karena hidup adalah sebuah pendakian.

"LIFE IS A CLIMB, BUT THE VIEW IS GREAT!"
~ inspired by HM

Sabtu, 16 April 2011

Kehilangan

Adalah hari Sabtu, tanggal 16, bulan April, tahun 2011..
Hari yang panjang, kata orang-orang.
Karena malam minggu.

Hari ini aku mengambil suatu keputusan tersulit dalam hidupku.
Aku tak tahu apakah aku sanggup menjalaninya.
Aku tak tahu apakah aku sanggup melaluinya.
Yang aku tahu,
Aku pasti akan dimampukan jika keputusanku itu memang tepat dan yang terbaik.

Tapi,
Mengapa jantungku tak berhenti berdegub?
Mengapa hatiku tak berhenti gelisah?
Mengapa tubuhku tak berhenti bergetar?

Salahkah aku?

Kesalahan terbesarku adalah ketidakmampuan.
Dan kehilangan adalah konsekuensi terbesarku.

Belajar Menulis

Seperti bayi yang sedang belajar merangkak dan berjalan, demikian halnya aku sedang belajar bagaimana menulis.
Aku tak pandai menulis.
Ayahku seorang yang gemar menulis, sampai-sampai setiap moment penting dalam hidupnya dituangkannya dalam sebuah tulisan sebagai dokumentasi pribadi yang sesekali dibukanya kembali. Tapi, sepertinya beliau mewariskan keahliannya pada adik perempuanku.
Orang-orang terdekatku tak sedikit yang menilai tulisanku sedikit aneh.
Dosenkupun membuktikannya pada saat aku menulis untuk tugas akhir dengan banyak coretan revisi dan kritikan.


Aku pernah mencoba menulis dalam sebuah jurnal pribadi berwarna putih beberapa tahun yang lalu.
Ada seseorang yang mendorongku untuk belajar mengungkapkan isi hati pada sebuah coretan, entah berupa tulisan atau sekedar sketsa gambar. Yang penting ungkapan isi hati.
Pada saat itu, aku memberikan jurnal pribadiku sebagai hadiah ulang tahun orang tersebut.
Tak disangka dia begitu terkesan dengan jurnalku.
Tapi, entah mengapa aku menjadi malas untuk melanjutkannya.
Mungkin karena sudah tidak ada tujuan khusus lagi.


Lucu memang, jika dipikir.
Umur hampir seperempat abad dan telah melewati tugas akhir yang memaksaku untuk banyak menulis, tapi masih saja aku tak pandai merangkai kata-kata menjadi suatu tulisan yang indah.
Kadang, aku merasa iri pada orang-orang yang begitu mudahnya menulis suatu tulisan dan begitu indah saat membacanya.
Tak jarang, papan keyboardpun akhirnya menjadi "momok" tersendiri bagiku.

Ketika tulisan tugas akhirku selesai, sebenarnya aku berpikir mengenai adanya dua kemungkinan terbesar yang akan terjadi pada diriku.
Yang pertama, aku akan berhenti dan tak mau lagi menyentuh papan keyboard untuk sekedar mencoba menulis sesuatu.
Yang kedua, aku justru akan merasa tertantang untuk mencoba menulis sesuatu.

Dan..eng-ing-eng...sepertinya dengan adanya blog ini, membuktikan bahwa papan keyboard bukan lagi sebuah "momok" bagiku. Kemungkinan pertama di ataspun, tidak terbukti benar adanya.
Terima kasih pada seseorang yang dulu pernah mendorongku untuk menulis.
Aku akan terus mencoba belajar menulis sesuatu, dimulai dengan ungkapan isi hati (lagi).

Gud luck to me! ^_^